Ketika Anak-anak Sudah Dewasa

Saya juga sudah punya cucu, tapi cucu dari kakak saya 😘


Beberapa waktu yang lalu, saya duduk santai di sebuah kafe kecil di dalam AEON BSD, janjian dengan Vivi, istri teman SMP saya, Agustinus. 

Ini adalah pertemuan lanjutan setelah diundang untuk mengikuti event gathering perusahaannya setelah lama tidak bertemu, jadi pertemuan kali ini cukup spesial. 

Akhir-akhir ini kami memang sering berbincang lewat WhatsApp, tapi tentu berbeda rasanya bisa bertatap muka langsung dan dalam suasana informal. Kafe ini terasa pas untuk kami—tenang, dengan secangkir kopi hangat dan suasana yang nyaman.

Kami banyak ngobrol soal kerjaan dan kehidupan pribadi bersama anak-anak. Kebetulan saya mengenal anak-anaknya yang sebaya dengan anak-anak saya. 

Sambil menikmati cocobrunch Vivi bercerita tentang Mathew yang dipanggil Memet. "Anakku baru aja putus sama pacarnya," katanya sambil tertawa. Saya langsung menoleh, merasakan keganjilan di momen harusnya sedih tapi malah tertawa. 

"Padahal, aku udah mikir mereka bakal lanjut serius," lanjutnya. Anaknya, sudah berpacaran dengan kekasihnya sejak kuliah. Mereka terlihat begitu serasi, dan Vivi udah membayangkan ketika calon mantunya yang kuliah di luar negeri lulus akan dilanjutkan dengan melamarnya. "Tapi ternyata, jalan hidup mereka beda,” katanya lagi. 

Kami berbicara panjang tentang bagaimana sulitnya masa-masa peralihan ini. Anak-anak kita, yang dulu selalu bergantung pada kita, kini sudah besar dan harus menghadapi tantangan emosional yang lebih besar, seperti patah hati. Vivi ingin sekali melindungi anaknya, tapi di sisi lain, dia paham bahwa ini bagian dari proses pendewasaan yang harus dilewati.


Cerita lain... 

Setelah bertemu Vivi beberapa waktu kemudian ketika membuka ponsel chat dari sahabat dekat SMA saya, Niar, masuk. 

"Kabar baik nih, anak gue mau nikah!" tulisnya di chat dengan emotikon penuh suka cita. Ingatan saya langsung tertuju ke putri ke duanya, Fathia. Tinggal dia yang belum menikah. Dua tahun lalu ia baru saja menikahkan anak sulungnya. 

Saya langsung tertawa ikut bahagia membaca kabar bahagia itu. Niar yang sudah beberapa bulan terakhir sibuk dengan kegiatannya jadi MC alias Momong Cucu, kini dihadapkan pada momen besar—pernikahan putri bungsunya. 

Saya masih ingat momen Niar pertama kali terpikir akan perannya sebagai ibu mertua nanti. “Aku kan baru pertama kali nih, jadi ibu mertua. Gimana ya nanti hubungan aku sama calon menantu? Aku nggak mau sampai ada salah paham yang bikin hubungan kita nggak enak,” tulisnya lagi.

Saya paham kekhawatirannya. Menjadi ibu mertua tentu membawa tantangan baru, apalagi di tengah peran baru anak kita sebagai suami atau istri. Ada dinamika baru yang harus dijalani, termasuk bagaimana kita sebagai ibu tetap mendukung tanpa terlalu ikut campur.


Cerita lain lagi... 

Setelah selesai mengobrol dengan Niar, saya iseng membuka Tiktok dan mulai scroll. Tiba-tiba, feed saya dipenuhi dengan foto sahabat lama, Siwi, bersama cucunya. “Momong cucu nih, seru banget!” tulis caption-nya di bawah foto yang penuh senyuman itu.

Saya tidak bisa menahan diri untuk tertawa kecil melihat ekspresi Siwi yang begitu bahagia bersama cucu kecilnya. Ia dan Niar sudah berada di tahap yang lebih jauh dari saya dan Vivi; menikmati peran baru sebagai nenek.

Beberapa menit kemudian, saya meninggalkan komentar di fotonya. “Wah, asyik banget jadi nenek! Ceritain dong gimana rasanya?” Tak lama, Siwi membalas dengan emoji senyum lebar, dan kami pun saling bertukar cerita lewat direct message.

“Ternyata jadi nenek itu beda ya sama jadi ibu,” tulisnya. “Kalau jadi ibu, kita kan bertanggung jawab penuh, dari urusan makan sampai pendidikan. Tapi jadi nenek, rasanya lebih santai. Aku tinggal main-main aja sama cucu, terus kalau capek, bisa balikin ke orang tuanya. Nggak perlu begadang atau pusing mikirin makanannya gimana.”

Saya tersenyum membayangkan betapa bahagianya Siwi di fase hidupnya sekarang. Dia bisa menikmati momen-momen indah dengan cucunya tanpa beban tanggung jawab yang berat seperti dulu saat anak-anaknya masih kecil. "Tapi tetap ya, ada rasa bangga yang nggak bisa dijelasin waktu lihat anak kita sekarang membesarkan anak mereka sendiri," lanjutnya. 


Penutup : 

Obrolan-obrolan ini membuat saya berpikir tentang bagaimana setiap sahabat saya sekarang berada di fase kehidupan yang berbeda. Dari anak yang patah hati, persiapan pernikahan, hingga merawat cucu, perjalanan hidup ini membawa kami ke arah yang unik dan penuh warna. Yang pasti, peran sebagai ibu tidak pernah benar-benar selesai. Kita tidak lagi selalu berada di garis depan seperti dulu saat mereka kecil, tapi kita tetap ada di sana, siap mendukung kapanpun dibutuhkan.

Anak-anak kita tumbuh, menjalani hidup mereka sendiri, tapi ikatan antara ibu dan anak tak pernah hilang. Meski kini mereka sudah dewasa, kadang mereka masih memerlukan kita untuk mengobati luka, berbagi kebahagiaan, atau sekadar meminta nasihat. Dan sebagai ibu, kita akan selalu ada di sana—meski tidak lagi dengan cara yang sama seperti dulu. Setuju? ☺

Komentar