Sulitkah Penerapan Perawatan Diri Dan Pencegahan Disabilitas Kusta?

Source : istockphoto.com

Sulitkah penerapan perawatan diri dan pencegahan disabilitas kusta? Pertanyaan ini terus menyeruak di kepala saya mengingat sampai saat ini penyakit kusta masih menjadi momok menakutkan untuk sebagian besar orang, betul apa betul? 

Yup, orang dengan penyakit kusta kerap dikucilkan orang karena dianggap menjijikkan. Penyakit ini menjadi terkesan makin menyeramkan, dalam arti dapat menulari orang lain dan bisa menyebabkan angggota badan copot, misalnya ujung jari. Sehingga daripada tertular alih-alih orang menghindari orang dengan penderita kusta. 

Nah, yang patut disayangkan ketika stigma negatif datang dari kalangan tenaga kesehatan itu sendiri. Bisa kita bayangkan bagaimana beratnya tantangan kusta di negara kita. Sudah menghadapi perasaan tertekan dikucilkan keluarga dan lingkungan eh masih juga harus menghadapi pelayanan pengobatan yang tidak optimal. 

Akhirnya apa? penderita kusta pun enggan berobat. Tentunya kondisi ini tak hanya dapat memperparah kondisinya sendiri tapi penyebaran bakteri kusta pada lingkungannya pun tidak terkendali. Kalau begini kondisinya jadi tanggung jawab siapa, dong? 

Hmmm, speechless beneran 😌

Talkshow Ruang Publik KBR di Youtube Kabar KBR : Dinamika Penerapan Perawatan Diri dan Pencegahan Disabilitas Kusta di Lapangan

Alhamdulillah dalam perbincangan Ruang Publik KBR yang saya simak dalam kanal Youtube Berita KBR pada 28 April 2022 lalu sedikit banyak saya mendapat pencerahan. Hadir narasumber : 

- dr. M Riby Machmoed MPH - Technical Advisor Program Leprosy Control, NLR Indonesia

- Sierli Natar, S.Kep - Wasor TB/Kusta, Dinas Kesehatan Kota Makassar 

Jangan Ada Kusta di Antara Kita

Demikian salam pembuka dari Dr. Riby. Diakuinya target eliminasi zero kusta pada tahun 2030 sejatinya bisa tercapai mengingat proses penularan kusta tidak mudah, obatnya pun ada dan di impor dari luar negeri dan dijamin WHO. Tapi dampak sosialnya itulah yang masih menjadi PR terbesar. Karena stigma negatif atas kusta datang dari : 

1. orang yang mengalami kusta malu berinteraksi dengan perubahan fisiknya akibat digerogoti kuman kusta

2. keluarga penderita kusta yang malu karena menganggap penyakit ini adalah aib

3. kalangan tenaga kesehatan yang mengira luka-luka penderita kusta bisa menulari dirinya

4. stigma di tengah masyarakat itu sendiri yang belum juga hilang, yg menganggap kusta adalah penyakit kutukan. 

Kabar baiknya, secara garis besar grafik kusta di Indonesia terus terjadi penurunan. Di tahun 2019 yang telah tervalidasi secara nasional penyakit kusta tercatat ada sekitar 19.900 orang dan di tahun 2020 turun menjadi 13.180. Penemuan kasus baru pun terjadi penurunan, di tahun 2019 dari 17.400 menjadi 11.173 di tahun 2020. Demikian pula cacat, berdasarkan global indikator di tahun 2019 adalah 4,18 per 1 juta penduduk dan di tahun 2020 2,13 per 1 juta penduduk. Adapun kasus anak kusta juga mengalami penurunana.

"Kalau dari provinsi, jumlah kusta tertinggi berdasarkan data tahun 2020 ada di Jawa Timur sebanyak 2.139 kasus, disusul Jawa Barat 1.845 kasus, Papua 1.200 kasus, Jawa Tengah 1.139 kasus dan Papua Barat 902 kasus. Namun kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk secara keseluruhan kasus kusta tertinggi justru Papua Barat karena penduduknya sedikit dibandingkan provinsi lain. Jadi dari 10 ribu orang, hampir 10 orangnya terkena kusta, " ungkap dr. Ribby. 

Sierli Natar, S.Kep - Wasor TB/Kusta, Dinas Kesehatan Kota Makassar 

Menyikapi orang dengan kusta yang enggan berobat karena tidak mendapat layanan optimal dari tenaga kesehatan, sebagai Wasor TB/Kusta, Dinas Kesehatan Kota Makassar Sierli Natar, S.Kep mengungkapkan tenaga medis yang khusus menangani kusta biasanya sudah memahami penanganan kusta pada pasien. Namun tidak demikian dengan tenaga medis pada umumnya. Inilah yang menjadi tantangan berat kusta di negara kita bagaiman mengubah mindset tenaga kesehatan bahwa proses penularan tidak instant seperti flu.    

Sebagai langkah awal, tenaga medis yang khusus menangani kusta akan memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada penderita kusta. Mulai dari mengedukasi bahwa penyakit ini bukanlah kutukan hingga memotivasi orang dengan kusta untuk sembuh.

Menurutnya, pengobatan secara kontinyu sangatlah penting terhadap kesembuhan orang dengan kusta. Pengobatan juga mencegah terjadinya disabilitas akibat copotnya sebagian jari tangan atau kaki karena kehilangan sensasi rasa. 

Pentingnya Perawatan Diri Secara Mandiri

Sierli menjelaskan betapa pentingnya perawatan diri secara mandiri oleh penderita kusta. Jangan tergantung kepada tenaga kesehatan. Karena kunci kesembuhan adalah ketekunan dan kemandirian. "Sehingga diharapkan risiko cacat bisa diminimalisasi, andaikanpun cacat tidak sampai meluas," tegasnya. 

Berdasarkan pemeriksaan fungsi syaraf tenaga medis untuk mengetahui apakah ada kelainan. Jika ada, orang dengan penyakit kusta disarankan untuk melakukan perendaman anggota badannya yang digerogoti kuman kusta dengan air biasa selama 20 menit. 

Selanjutnya, gosok bagian yang menebal dengan alat sederhana misalnya batu apung secara pelan-pelan selama beberapa menit. Setelah itu, baluri dengan minyak kelapa bagian yang membengkok. Kalau ada luka segera tutup dengan kain bersih. Lakukan rutinitas ini setiap hari dengan ketekunan dan kesabaran. 

dr. M Riby Machmoed MPH - Technical Advisor Program Leprosy Control, NLR Indonesia

Dokter Ribby menambahkan, pada dasarnya kunci kesembuhan kusta adalah menghindari luka. Karena umumnya orang dengan kusta kehilangan sensasi rasa, sehingga tanpa disadari luka terjadi dari sini. 

Ia pun mengingatkan perawatan diri 3M : 

1. Memeriksa jika ada kelainan, 

2. Merawat jika ada kelainan,

3. Melindungi tangan dan kaki dengan peritah ke otak, misalnya saat mengangkat panci panas. Biasanya orang dengan kusta tidak memiliki sensasi panas alias mati rasa. Ingatkan otak untuk selalu menggunakan cempal atau kain tebal saat mengangkat panci panas agar tidak terbakar dan luka. Kalau berjalan selalu kenakan alas kaki untuk menghindari terkena pecahan kaca atau kerikil tajam namun tidak terasa. 

Gejala Dini Kusta

Dokter Ribby mengimbau kepada seluruh masyarakat termasuk tenaga kesehatan bahwa penyakit kusta adalah penyakit menular yang tidak mudah menularkan. Prosesnya tidak sebentar. Namun jika ada gejala berikut maka kita diminta berhati-hati, yaitu : 

- Bila ada bercak putih atau bercak kemerahan yang tidak berasa gatal dan sakit, waspadalah. Mungkin itu kusta. Kebanyakan orang dengan kusta menganggap enteng adanya bercak putih atau kemerahan karena tidak sakit dan gatal. 

- Bila ada kelemahan jari tangan dan kaki termasuk kelopak mata, waspadalah. Segeralah periksakan diri ke puskesmas. 

- Reaksi kusta umumnya ada deman ringan sampai sedang. Nah bila ada rasa sakit di sendi atau sakit di belakang lutut jangan dikira itu rematik. Bisa jadi itu kusta. 

- Umumnya orang dengan kusta yang sudah sembuh tidak mau berkonsultasi lagi dengan tenaga kesehatan. Padahal itu salah. Reaksi kusta bisa kapan saja terjadi. Jadi meskipun sudah dinyatakan sembuh tetap selalu kontrol setiap tiga bulan sekali untuk dipantau oleh tenaga kesehatan kondisi fungsi syarafnya. 

Kusta masih menjadi PR besar. Namun dengan sinergi semua pihak antara tenaga medis, pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, orang dengan kusta dan lingkungan terdekatnya semoga target eliminasi zero kusta di tahun 2030 dapat tercapai. Aamiin. Yuk bisa yuk!



Komentar