Drrrtttt... Terdengar suara dering halus pesan Whataspp dari kakak saya.
"Elo bisa ke sini, besok? Ibu sakit. Semalam bla-bla-bla..."
Esok siangnya saya tiba di rumah ibu. Badannya panas tinggi. Sempat saya bikinkan perkedel kornet kesukaannya lalu menyuapinya. Alhamdulillah ibu masih mau makan. Sedikit.
Makin sore hati kecil saya makin ga karuan. Mengajaknya ke dokter bukanlah solusi yang tepat di saat situasi pandemi lagi mencekam begini. Namun di rumah aja dan mengobatinya dengan obat penurun panas juga sama sekali ga menolong. Ibu masih panas tinggi terus. Kaki dan tangannya dingin sekali.
Entah kenapa, habis Maghrib saya tergerak mengabarkan kondisi ibu ke kakak saya yang lain. "Mam, ibu sakit dari semalam. Badannya panas tinggi, kaki dan tangannya dingin banget."
"Wuaaaaaa, gue yakin ibu kena DBD. Pengalaman banget ini karena anak-anak gue bolak balik kena DBD. Satu jam lagi gue datang. Kita bawa ke rumah sakit deh!" perintahnya.
Jam sembilan malam kami berbagi tugas. Satu orang kakak saya standbye di rumah sambil menyiapkan segala kebutuhan kalau-kalau ibu sampai harus diopname. Kemudian kami bertiga, saya, kakak saya yang saya panggil Mam dan anak lelakinya membawa ibu ke rumah sakit.
Tanpa dikomando kami langsung ambil formasi. Saya duduk di belakang mobil sambil memangku kepala ibu supaya nyaman. Keponakan saya menyetir mobil. Kakak saya yang pasang badan turun dari mobil menanyakan kamar kosong di rumah sakit.
Rumah sakit pertama yang dituju ga menampung pasien lagi. Kelihatannya rumah sakit ini sudah kelimpungan menampung suspect Covit. Dari jendela mobil saya lihat petugas UGD yang menerima kakak saya sudah menggunakan APD komplit.
Rumah sakit kedua yang kami datangi juga ga terima pasien rawat inap karena UGD-nya lagi direnov. Akhirnya rumah sakit ke tiga - meskipun kelas III - yang kami datangi bisa menerima ibu. Alhamdulillah ibu segera ditangani.
___
Beberapa tahun terakhir ini boleh dibilang saya punya kesibukan baru menjadi caregiver ibu saya di sela-sela kegiatan saya yang lain. Tapi saya ga sendirian. Yaah, kalau ga ada kakak-kakak saya, manalah saya bisa handle ibu sendirian.
Saya termasuk beruntung. Kakak-kakak kandung saya selalu 'siap' bilamana diperlukan seperti kejadian di atas. Namun itu bukanlah waktu yang pendek. Bila direntangkan waktu ke belakang, saya masih ingat kalau saya minta gantian jaga ibu kakak saya bilang lagi ada kesibukan ini, kakak yang satu lagi bilang lagi ada kesibukan itu. Hufff, bisa apa saya selain harus mengalah. Bukan baru sekali job event blogger terpaksa lepas daripada ibu ga ada yang jagain.
Yup, saya paham. Tadinya sayapun demikian. Mengira ibu bakal baik-baik selamanya. Makanya saya jarang nengokin ibu. Bahkan waktu alm bapak udah mulai sakit-sakitan saya masih menganggap enteng. Ah paling sakit apa sih. Lagi pengen manja aja kali.. (Ya Allah, nyuwun ngapuro huhuhu)
Itulah kenapa saya bilang tadi, ini bukan hal yang mudah untuk bisa saling bergenggaman seperti sekarang. Butuh keberanian, penerimaan diri, and rasa percaya demi memberikan yang terbaik untuk orang tua.
Sudah ga bisa saya ungkapkan deh gimana cemasnya saya takut ibu kenapa-napa. Makanya saya rela melakukan apapun termasuk memutuskan berapa hari di rumah saya untuk kumpul dengan keluarga, berapa hari lagi di rumah ibu saya.
Untuk bisa begini rahasianya cuma satu yakni komunikasi intens melalui grup WA keluarga. Di dalam grup tersebut kami saling diskusi apapun, kami tertawa dan menangis bareng. Jangan dikira kami baik-baik aja. Kami sempat lho saling left grup karena lagi baper.
Akan tetapi kami saling meyakini. Meskipun kami intens berkomunikasi untuk menentukan setiap keputusan namun ketika keputusan urgensi seperti membawa ibu ke rumah sakit di tengah pandemi begini, kakak-kakak saya yang lain ga ada yang menyalahkan. Yes, if something went wrong they believed me that it would never be my fault.
Makasih kakak-kakak sayang yang telah mensupport dalam segala hal. Makasih juga udah membantu memikirkan anak-anak saya ketika saya lagi piket di rumah ibu. It's a gift for me. I love you all.
Dan buat teman-teman yang masih ada orang tua tapi ga kebagian merawatnya di penghujung usianya, segera hubungi anggota keluarga yang kini merawat orang tua. Ungkapkan terus ucapan terimakasih padanya yang telah merawat orang tua dengan sepenuh hati. Dia pantas mengetahuinya.
Rumah sakit kedua yang kami datangi juga ga terima pasien rawat inap karena UGD-nya lagi direnov. Akhirnya rumah sakit ke tiga - meskipun kelas III - yang kami datangi bisa menerima ibu. Alhamdulillah ibu segera ditangani.
___
Beberapa tahun terakhir ini boleh dibilang saya punya kesibukan baru menjadi caregiver ibu saya di sela-sela kegiatan saya yang lain. Tapi saya ga sendirian. Yaah, kalau ga ada kakak-kakak saya, manalah saya bisa handle ibu sendirian.
Saya termasuk beruntung. Kakak-kakak kandung saya selalu 'siap' bilamana diperlukan seperti kejadian di atas. Namun itu bukanlah waktu yang pendek. Bila direntangkan waktu ke belakang, saya masih ingat kalau saya minta gantian jaga ibu kakak saya bilang lagi ada kesibukan ini, kakak yang satu lagi bilang lagi ada kesibukan itu. Hufff, bisa apa saya selain harus mengalah. Bukan baru sekali job event blogger terpaksa lepas daripada ibu ga ada yang jagain.
Yup, saya paham. Tadinya sayapun demikian. Mengira ibu bakal baik-baik selamanya. Makanya saya jarang nengokin ibu. Bahkan waktu alm bapak udah mulai sakit-sakitan saya masih menganggap enteng. Ah paling sakit apa sih. Lagi pengen manja aja kali.. (Ya Allah, nyuwun ngapuro huhuhu)
Itulah kenapa saya bilang tadi, ini bukan hal yang mudah untuk bisa saling bergenggaman seperti sekarang. Butuh keberanian, penerimaan diri, and rasa percaya demi memberikan yang terbaik untuk orang tua.
Sudah ga bisa saya ungkapkan deh gimana cemasnya saya takut ibu kenapa-napa. Makanya saya rela melakukan apapun termasuk memutuskan berapa hari di rumah saya untuk kumpul dengan keluarga, berapa hari lagi di rumah ibu saya.
Untuk bisa begini rahasianya cuma satu yakni komunikasi intens melalui grup WA keluarga. Di dalam grup tersebut kami saling diskusi apapun, kami tertawa dan menangis bareng. Jangan dikira kami baik-baik aja. Kami sempat lho saling left grup karena lagi baper.
Akan tetapi kami saling meyakini. Meskipun kami intens berkomunikasi untuk menentukan setiap keputusan namun ketika keputusan urgensi seperti membawa ibu ke rumah sakit di tengah pandemi begini, kakak-kakak saya yang lain ga ada yang menyalahkan. Yes, if something went wrong they believed me that it would never be my fault.
Makasih kakak-kakak sayang yang telah mensupport dalam segala hal. Makasih juga udah membantu memikirkan anak-anak saya ketika saya lagi piket di rumah ibu. It's a gift for me. I love you all.
Dan buat teman-teman yang masih ada orang tua tapi ga kebagian merawatnya di penghujung usianya, segera hubungi anggota keluarga yang kini merawat orang tua. Ungkapkan terus ucapan terimakasih padanya yang telah merawat orang tua dengan sepenuh hati. Dia pantas mengetahuinya.
Komentar
Posting Komentar